Selasa, 06 April 2010
BERAWAL DARI CINTA
Seorang Arab Badui menyeruak ke tengah-tengah jamaah shalat untuk mendekati Rasulullah SAW. Ketika sudah dekat dan Rasul sudah siap menunaikan shalat, orang itu bertanya, “Kapankah kiamat terjadi ?” Nabi tidak menjawab, karena shalat sudah hampir ditunaikan.
Ucapan takbir terucap dari mulut Rasulullah yang mulia, ayat demi ayat Alquran beliau senandungkan, begitu khidmat, khusyuk dan penuh pengahayatan. Tetes-tetes air mata berjatuhan dari pelupuk mata yang jernih. Para sahabat pun tenggelam dalam limpahan kasih sayang Ilahi.
Ketika shalat telah selesai dengan lembut penuh wibawa Rasulullah SAW bersabda, “Mana orang yang tadi bertanya tentang hari kiamat?” Orang itu segera menjawab, “saya, wahai Rasulullah”. Nabi balik bertanya,”Apa yang telah engkau persiapkan untuk menyambut datangnya kiamat?”.
Sejenak majlis itu diliputi suasana hening, sampai orang itu berucap “Saya tidak mempersiapkan amal yang banyak. Saya hanya mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Seiring tersunggingnya senyuman, Nabi yang mulia menjawab, “Engkau akan bersama-sama dengan orang yang engkau cintai”.
Sungguh luar biasa ungkapan Rasulullah SAW ini, begitu dalam dan penuh makna, hingga menggugah kepenasaran para sahabat untuk ikut bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ucapan itu hanya berlaku untuk dia saja?” Rasulullah SAW menjawab, “Tidak, ucapaanku ini berlaku pula untuk kalian dan orang-orang sesudah kalian.” Kegembiraan segera meyelimuti relung sanubari orang-orang yang hadir di majlis itu, hingga Anas bin Malik berujar, “Aku belum pernah melihat kaum muslimin begitu berbahagia setelah masuk Islam karena sesuatu, seperti bahagianya mereka ketika mendengar sabda Nabi SAW tersebut”.
Simpulannya, betapa besar konsekwensi cinta. Orang Arab Badui itu bukanlah siapa-siapa, namun kecintaannya kepada Allah dan Rasulullah membuat ia mendapat penghormatan begitu tinggi. Tidak tanggung-tanggung, Rasulullah SAW sendiri menjanjikan kebersamaan dengan dirinya di surga kelak. Padahal boleh jadi ibadah orang ini tidak sehebat para sahabat lain. Seperti itulah cinta, ia bisa membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, membuat sesuatu yang biasa menjadi luar biasa, dan yang hampa menjadi penuh makna.
Sejatinya cinta bukan sekedar kata sifat namun juga kata kerja. Cinta itu tidak statis, cinta itu dinamis, penuh vitalitas dan energi yang mampu membangkitkan kekuatan-kekuatan tersembunyi dalam diri, sampai akhirnya dahaga cinta itu terpuaskan. Apa yang dikatakan Arab Badui tadi bukanlah suatu yang sederhana. Dalam kata-kata yang ia ungkapkan tersimpan sebuah komitmen, keyakinan dan janji setia yang sarat makna. Itulah sebabnya Rasulullah SAW berani menjanjikan pahala yang menggiurkan kepadanya.
Cinta menimbulkan serangkaian konsekwensi. Ketika seseorang telah menyatakan cinta, maka segala tingkah lakunya akan berjalan di jalur cinta tersebut, jika cinta itu ditunjukkan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka segala tingkah lakunya akan diselaraskan dengan kehendak yang dicintainya. Bukankah seseorang pecinta akan berusaha untuk menghadirkan kesamaan dengan yang dicintainya, sehingga yang dicintainya menjadi ridlo kepadanya?
Cinta adalah sebentuk nikmat agung yang Allah karuniakan kepada manusia. Dengan anugerah cinta itulah hidup manusia jadi lebih bermakna (QS. Ali Imron [3]:14). Dengan anugerah cinta, setiap rintangan untuk bertemu sang kekasih akan dihadapi dengan sungguh-sungguh dan lapang dada bahkan senyumnya yang mengembang.
Lalu apakah cinta itu? Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mengatakan,”Tidak ada batasan cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri. Membatasinya hanya akan menambah kabur dan kering maknanya. Maka batasan dan penjelasan cinta tersebut tidak bisa dilukiskan hakikatnya secara jelas, kecuali dengan kata cinta itu sendiri. Walau demikian sesuatu yang sulit dimaknai bukan berarti tidak bisa dimaknai. Diantara makna cinta adalah kecenderungan yang terus menerus ( kepada yang dicintai). Bisa pula kesedihan hati menerima segala keinginan yang dicintainya. Atau kecenderungan hati untuk lebih mengutamakan yang dicintai daripada diri dan harta sendiri.
Ada empat unsur yang hadir dalam cinta, yaitu :
1. Care (Perhatian)
Cinta harus melahirkan perhatian pada objek yang dicintai. Ketika kita mencintai seseorang, maka kita akan memerhatikan kesulitan yang dihadapainya, akan berusaha meringankan bebannya dan memberikan perhatian yang tinggi atas setiap gerak geriknya. Begitu pula ketika mencintai Allah dan Rasul-Nya, kita akan berusaha memberikan perhatian yang lebih kepada semua hal yang diridloi dan yang dimurkai Allah dengan merujuk perilaku utusan-Nya, yaitu Rasulullah SAW. Oleh karena itu, seorang hamba beriman sulit untuk melalaikan kewajibannya kepada Allah dan Rasulullah.
2. Responsibility (Tanggung jawab)
Cinta harus melahirkan sikap bertanggungjawab terhadap objek yang dicintai. Orang tua yang mencintai anaknya, akan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan material, spiritual dan masa depan anaknya. Suami akan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangganya. Karyawan yang mencintai perusahaanya, akan bertanggungjawab dan mendedikasikan waktu, tenaga dan pemikirannya demi kemajuan perusahaannya. Sama halnya dengan orang yang mencintai Allah dan Rasul-nya akan melakukan hal yang sama.
3. Respect (Hormat)
Hormat bisa pula diartikan sebagai sikap menerima apadanya dan selalu berikhtiar agar tidak mengecewakannya. Dalam konteks hubungan dengan Allah dan Rasulullah, rasa hormat kita tercermin dari prinsip sami’na wa attha’na, mendengan dan taat. Jika itu yang disukai Allah dan dicontohkan Rasulullah, maka ia akan dengan sekuat tenaga melaksanakannya, karena ia yakin bahwa semua yang Allah perintahkan pasti baik untuk diri dan masa depannya.
4. Knowledge (Pengetahuan)
Cinta harus melahirkan minat untuk memahami seluk beluk oljek yang dicintainya. Ketika kita mencintai seseorang kita akan berusaha memahami kepribadian, latar belakang, keluarga dan kesukaanya. Ketika kita mencintai Allah dan Rasul-Nya pun akan berusaha mencari tahu siapa Allah dan Rasulullah itu. Kita akan bersemangat membaca dan mendengar menelaah dan bertanya tentang Dzat Allah dan pribadi Muhammad SAW. Sama halnya jika kita mencintai pekerjaan yang dibebankan, maka dengan serta merta ia akan selalu berusaha untuk melakukan hal yang terbaik dalam menjalankan pekerjaan tersebut.
Empat komponen cinta inilah yang senantiasa terpatri dihati para sahabat. Efek yang ditimbulkan begitu dahsyat. Kecintaan kepada Allah dan Rasulullah mempu melahirkan perubahan drastis dalam hidup mereka, dari kegelapan menuju cahaya, dari kebencian menuju kasih sayang dari kemunduran menjadi kemajuan. Dan semoga kita mempu meneladani mereka, Amin.
Wallahu’alam bishshawab
Seorang Arab Badui menyeruak ke tengah-tengah jamaah shalat untuk mendekati Rasulullah SAW. Ketika sudah dekat dan Rasul sudah siap menunaikan shalat, orang itu bertanya, “Kapankah kiamat terjadi ?” Nabi tidak menjawab, karena shalat sudah hampir ditunaikan.
Ucapan takbir terucap dari mulut Rasulullah yang mulia, ayat demi ayat Alquran beliau senandungkan, begitu khidmat, khusyuk dan penuh pengahayatan. Tetes-tetes air mata berjatuhan dari pelupuk mata yang jernih. Para sahabat pun tenggelam dalam limpahan kasih sayang Ilahi.
Ketika shalat telah selesai dengan lembut penuh wibawa Rasulullah SAW bersabda, “Mana orang yang tadi bertanya tentang hari kiamat?” Orang itu segera menjawab, “saya, wahai Rasulullah”. Nabi balik bertanya,”Apa yang telah engkau persiapkan untuk menyambut datangnya kiamat?”.
Sejenak majlis itu diliputi suasana hening, sampai orang itu berucap “Saya tidak mempersiapkan amal yang banyak. Saya hanya mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Seiring tersunggingnya senyuman, Nabi yang mulia menjawab, “Engkau akan bersama-sama dengan orang yang engkau cintai”.
Sungguh luar biasa ungkapan Rasulullah SAW ini, begitu dalam dan penuh makna, hingga menggugah kepenasaran para sahabat untuk ikut bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ucapan itu hanya berlaku untuk dia saja?” Rasulullah SAW menjawab, “Tidak, ucapaanku ini berlaku pula untuk kalian dan orang-orang sesudah kalian.” Kegembiraan segera meyelimuti relung sanubari orang-orang yang hadir di majlis itu, hingga Anas bin Malik berujar, “Aku belum pernah melihat kaum muslimin begitu berbahagia setelah masuk Islam karena sesuatu, seperti bahagianya mereka ketika mendengar sabda Nabi SAW tersebut”.
Simpulannya, betapa besar konsekwensi cinta. Orang Arab Badui itu bukanlah siapa-siapa, namun kecintaannya kepada Allah dan Rasulullah membuat ia mendapat penghormatan begitu tinggi. Tidak tanggung-tanggung, Rasulullah SAW sendiri menjanjikan kebersamaan dengan dirinya di surga kelak. Padahal boleh jadi ibadah orang ini tidak sehebat para sahabat lain. Seperti itulah cinta, ia bisa membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, membuat sesuatu yang biasa menjadi luar biasa, dan yang hampa menjadi penuh makna.
Sejatinya cinta bukan sekedar kata sifat namun juga kata kerja. Cinta itu tidak statis, cinta itu dinamis, penuh vitalitas dan energi yang mampu membangkitkan kekuatan-kekuatan tersembunyi dalam diri, sampai akhirnya dahaga cinta itu terpuaskan. Apa yang dikatakan Arab Badui tadi bukanlah suatu yang sederhana. Dalam kata-kata yang ia ungkapkan tersimpan sebuah komitmen, keyakinan dan janji setia yang sarat makna. Itulah sebabnya Rasulullah SAW berani menjanjikan pahala yang menggiurkan kepadanya.
Cinta menimbulkan serangkaian konsekwensi. Ketika seseorang telah menyatakan cinta, maka segala tingkah lakunya akan berjalan di jalur cinta tersebut, jika cinta itu ditunjukkan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka segala tingkah lakunya akan diselaraskan dengan kehendak yang dicintainya. Bukankah seseorang pecinta akan berusaha untuk menghadirkan kesamaan dengan yang dicintainya, sehingga yang dicintainya menjadi ridlo kepadanya?
Cinta adalah sebentuk nikmat agung yang Allah karuniakan kepada manusia. Dengan anugerah cinta itulah hidup manusia jadi lebih bermakna (QS. Ali Imron [3]:14). Dengan anugerah cinta, setiap rintangan untuk bertemu sang kekasih akan dihadapi dengan sungguh-sungguh dan lapang dada bahkan senyumnya yang mengembang.
Lalu apakah cinta itu? Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mengatakan,”Tidak ada batasan cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri. Membatasinya hanya akan menambah kabur dan kering maknanya. Maka batasan dan penjelasan cinta tersebut tidak bisa dilukiskan hakikatnya secara jelas, kecuali dengan kata cinta itu sendiri. Walau demikian sesuatu yang sulit dimaknai bukan berarti tidak bisa dimaknai. Diantara makna cinta adalah kecenderungan yang terus menerus ( kepada yang dicintai). Bisa pula kesedihan hati menerima segala keinginan yang dicintainya. Atau kecenderungan hati untuk lebih mengutamakan yang dicintai daripada diri dan harta sendiri.
Ada empat unsur yang hadir dalam cinta, yaitu :
1. Care (Perhatian)
Cinta harus melahirkan perhatian pada objek yang dicintai. Ketika kita mencintai seseorang, maka kita akan memerhatikan kesulitan yang dihadapainya, akan berusaha meringankan bebannya dan memberikan perhatian yang tinggi atas setiap gerak geriknya. Begitu pula ketika mencintai Allah dan Rasul-Nya, kita akan berusaha memberikan perhatian yang lebih kepada semua hal yang diridloi dan yang dimurkai Allah dengan merujuk perilaku utusan-Nya, yaitu Rasulullah SAW. Oleh karena itu, seorang hamba beriman sulit untuk melalaikan kewajibannya kepada Allah dan Rasulullah.
2. Responsibility (Tanggung jawab)
Cinta harus melahirkan sikap bertanggungjawab terhadap objek yang dicintai. Orang tua yang mencintai anaknya, akan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan material, spiritual dan masa depan anaknya. Suami akan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangganya. Karyawan yang mencintai perusahaanya, akan bertanggungjawab dan mendedikasikan waktu, tenaga dan pemikirannya demi kemajuan perusahaannya. Sama halnya dengan orang yang mencintai Allah dan Rasul-nya akan melakukan hal yang sama.
3. Respect (Hormat)
Hormat bisa pula diartikan sebagai sikap menerima apadanya dan selalu berikhtiar agar tidak mengecewakannya. Dalam konteks hubungan dengan Allah dan Rasulullah, rasa hormat kita tercermin dari prinsip sami’na wa attha’na, mendengan dan taat. Jika itu yang disukai Allah dan dicontohkan Rasulullah, maka ia akan dengan sekuat tenaga melaksanakannya, karena ia yakin bahwa semua yang Allah perintahkan pasti baik untuk diri dan masa depannya.
4. Knowledge (Pengetahuan)
Cinta harus melahirkan minat untuk memahami seluk beluk oljek yang dicintainya. Ketika kita mencintai seseorang kita akan berusaha memahami kepribadian, latar belakang, keluarga dan kesukaanya. Ketika kita mencintai Allah dan Rasul-Nya pun akan berusaha mencari tahu siapa Allah dan Rasulullah itu. Kita akan bersemangat membaca dan mendengar menelaah dan bertanya tentang Dzat Allah dan pribadi Muhammad SAW. Sama halnya jika kita mencintai pekerjaan yang dibebankan, maka dengan serta merta ia akan selalu berusaha untuk melakukan hal yang terbaik dalam menjalankan pekerjaan tersebut.
Empat komponen cinta inilah yang senantiasa terpatri dihati para sahabat. Efek yang ditimbulkan begitu dahsyat. Kecintaan kepada Allah dan Rasulullah mempu melahirkan perubahan drastis dalam hidup mereka, dari kegelapan menuju cahaya, dari kebencian menuju kasih sayang dari kemunduran menjadi kemajuan. Dan semoga kita mempu meneladani mereka, Amin.
Wallahu’alam bishshawab
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Mengenai Saya
- Ryu Hidayat
- aku balita imut, wajahku "mlayanan" gantengnya dapet engga'nya kebanyakan.. :P ASI adalah makanan favoritku, kalo ga dapet, capek dehhhhh..
Pengikut
0 komentar:
Posting Komentar