Kamis, 15 Juli 2010
BEKERJA Tetap Semangat dan Produktif di BULAN PUASA
SEMANGAT untuk menyambut bulan Puasa biasanya terasa sekali di awal-awal bulan penuh berkah ini. Namun, semangat menggebu sering tidak diikuti dengan kenyataan tubuh menerima pola hidup yang berubah. Banyak pekerja yang lantas kurang produktif dalam bekerja
Perut kosong membuat kita cenderung malas bekerja karena konsentrasi jadi berkurang. Itulah problem klasik yang selalu kita hadapi di kantor pada bulan puasa, bagi yang menjalankan rukun Islam yang ketiga tersebut. Belum lagi problem-problem lainnya yang biasanya mengiringi orang yang sedang berpuasa, misalnya ngantuk, lemas dan haus yang mencekat.
Hari pertama puasa banyak pula perusahaan yang meliburkan karyawannya dengan alasan demi menghormati awal puasa ramadhan. Itu artinnya kita bisa menjalankan ibadah puasa pertama di rumah. Nah hari pertama kerja setelah libur, ini seharusnya bisa menjadi modal awal yang baik untuk tetap semangat dan menjaga produktivitas di kantor, setelah sehari melewatkan puasa bersama keluarga di rumah.
Bagaimana pun, puasa memang bukan alasan untuk bermalas-malasan di tempat kerja. Jangan sampai dengan berdalih ibadah, kita jadi mengesampingkan tugas-tugas rutin kantor yang menjadi tanggung jawab kita. Kalau kita lihat iklan di televisi, banyak suplemen ditawarkan untuk menjaga agar tubuh tetap bugar dan kuat selama berpuasa. Namun, sebenarnya rahasianya sederhana saja.
Pertama, jangan malas makan sahur. Ini memang cukup berat, tapi sungguh penting untuk menopang energi kita seharian. Tipsnya, lakukan makan sahur di akhir waktu. Kira-kira satu jam sebelum imsyak. Tidak perlu makan sahur jam 2 dini hari. Dan, setelah makan sahur, sebaiknya jangan tidur lagi. Tidur lagi setelah sahur justru akan membuat kita cenderung makin malas, dan membuat tubuh lemas pada siang hari.
Selain soal waktu, "isi" makan sahur juga perlu diperhatikan. Pilih menu utama yang banyak mengandung karbohidrat dan protein plus makanan/minuman tambahan yang berkalori tinggi, misalnya madu, kurma, susu. Jangan lupa juga banyak minum air putih. Perhatikan juga menu untuk buka puasa: banyak-banyaklah makan buah dan hindari minuman dingin.
Prinsipnya, tubuh membutuhkan keseimbangan agar produktivitas terjaga. Yang membuat tubuh loyo di antaranya adalah karena tubuh kekurangan hemoglobin (Hb), atau kekurangan energi. Untuk kekurangan Hb, sebaiknya kita mengonsumsi sayuran berwarna hijau atau hati. Untuk yang kekurangan energi, perlu mengonsumsi karbohidrat yang didapatkan dari nasi atau gula. Oleh karena itu, dianjurkan saat berbuka puasa kita minum atau makanan kecil yang manis.
Rahasia kecil lainnya agar kita tetap fit selama berpuasa: jangan tinggalkan olahraga. Orang biasanya berpikir, selama bulan puasa olahraga berhenti dulu. Padahal, justru aktivitas fisik tetap dibutuhkan untuk menjaga kelancaran peredaran darah agar kita tidak mudah loyo. Tubuh memetabolisasi zat-zat makanan tersebut sesuai dengan pekerjaan sehari-hari. Agar produk makanan yang dimetabolisasi tidak menumpuk menjadi lemak tubuh yang berlebihan, tubuh tetap perlu digerakkan dengan latihan olah raga. Namun dengan intensitas yang lebih ringan dan istirahat cukup, dengan catatan tetap melakukan ibadah malam hari.
Tipsnya, pilih olahgara yang ringan, yang tak menyita banyak energi. Latihan olah raga yang perlu dilakukan adalah latihan yang bersifat aerobik untuk kebugaran jantung dan paru, latihan beban untuk kebugaran otot, latihan fleksibilitas untuk kelenturan sendi-otot. misalnya lari-lari kecil di tempat, atau jalan kaki. Cukup 10-15 menit saja.
Itu untuk olahraga yang dilakukan pagi hari. Bisa juga olahraga dilakukan malam hari, sesudah berbuka puasa. Sebaiknya, lakukan minimal satu jam setelah berbuka. Di tempat kerja, untuk menghindarkan kantuk dan menjaga kebugaran kita bisa melakukan peregangan sambil berdiri atau duduk di sela-sela bekerja.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, diharapkan kita tetap bisa menjaga kesehatan dan semangat agar bisa mengindari sikap bermalas-malasan selama berpuasa.
SEMANGAT untuk menyambut bulan Puasa biasanya terasa sekali di awal-awal bulan penuh berkah ini. Namun, semangat menggebu sering tidak diikuti dengan kenyataan tubuh menerima pola hidup yang berubah. Banyak pekerja yang lantas kurang produktif dalam bekerja
Perut kosong membuat kita cenderung malas bekerja karena konsentrasi jadi berkurang. Itulah problem klasik yang selalu kita hadapi di kantor pada bulan puasa, bagi yang menjalankan rukun Islam yang ketiga tersebut. Belum lagi problem-problem lainnya yang biasanya mengiringi orang yang sedang berpuasa, misalnya ngantuk, lemas dan haus yang mencekat.
Hari pertama puasa banyak pula perusahaan yang meliburkan karyawannya dengan alasan demi menghormati awal puasa ramadhan. Itu artinnya kita bisa menjalankan ibadah puasa pertama di rumah. Nah hari pertama kerja setelah libur, ini seharusnya bisa menjadi modal awal yang baik untuk tetap semangat dan menjaga produktivitas di kantor, setelah sehari melewatkan puasa bersama keluarga di rumah.
Bagaimana pun, puasa memang bukan alasan untuk bermalas-malasan di tempat kerja. Jangan sampai dengan berdalih ibadah, kita jadi mengesampingkan tugas-tugas rutin kantor yang menjadi tanggung jawab kita. Kalau kita lihat iklan di televisi, banyak suplemen ditawarkan untuk menjaga agar tubuh tetap bugar dan kuat selama berpuasa. Namun, sebenarnya rahasianya sederhana saja.
Pertama, jangan malas makan sahur. Ini memang cukup berat, tapi sungguh penting untuk menopang energi kita seharian. Tipsnya, lakukan makan sahur di akhir waktu. Kira-kira satu jam sebelum imsyak. Tidak perlu makan sahur jam 2 dini hari. Dan, setelah makan sahur, sebaiknya jangan tidur lagi. Tidur lagi setelah sahur justru akan membuat kita cenderung makin malas, dan membuat tubuh lemas pada siang hari.
Selain soal waktu, "isi" makan sahur juga perlu diperhatikan. Pilih menu utama yang banyak mengandung karbohidrat dan protein plus makanan/minuman tambahan yang berkalori tinggi, misalnya madu, kurma, susu. Jangan lupa juga banyak minum air putih. Perhatikan juga menu untuk buka puasa: banyak-banyaklah makan buah dan hindari minuman dingin.
Prinsipnya, tubuh membutuhkan keseimbangan agar produktivitas terjaga. Yang membuat tubuh loyo di antaranya adalah karena tubuh kekurangan hemoglobin (Hb), atau kekurangan energi. Untuk kekurangan Hb, sebaiknya kita mengonsumsi sayuran berwarna hijau atau hati. Untuk yang kekurangan energi, perlu mengonsumsi karbohidrat yang didapatkan dari nasi atau gula. Oleh karena itu, dianjurkan saat berbuka puasa kita minum atau makanan kecil yang manis.
Rahasia kecil lainnya agar kita tetap fit selama berpuasa: jangan tinggalkan olahraga. Orang biasanya berpikir, selama bulan puasa olahraga berhenti dulu. Padahal, justru aktivitas fisik tetap dibutuhkan untuk menjaga kelancaran peredaran darah agar kita tidak mudah loyo. Tubuh memetabolisasi zat-zat makanan tersebut sesuai dengan pekerjaan sehari-hari. Agar produk makanan yang dimetabolisasi tidak menumpuk menjadi lemak tubuh yang berlebihan, tubuh tetap perlu digerakkan dengan latihan olah raga. Namun dengan intensitas yang lebih ringan dan istirahat cukup, dengan catatan tetap melakukan ibadah malam hari.
Tipsnya, pilih olahgara yang ringan, yang tak menyita banyak energi. Latihan olah raga yang perlu dilakukan adalah latihan yang bersifat aerobik untuk kebugaran jantung dan paru, latihan beban untuk kebugaran otot, latihan fleksibilitas untuk kelenturan sendi-otot. misalnya lari-lari kecil di tempat, atau jalan kaki. Cukup 10-15 menit saja.
Itu untuk olahraga yang dilakukan pagi hari. Bisa juga olahraga dilakukan malam hari, sesudah berbuka puasa. Sebaiknya, lakukan minimal satu jam setelah berbuka. Di tempat kerja, untuk menghindarkan kantuk dan menjaga kebugaran kita bisa melakukan peregangan sambil berdiri atau duduk di sela-sela bekerja.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, diharapkan kita tetap bisa menjaga kesehatan dan semangat agar bisa mengindari sikap bermalas-malasan selama berpuasa.
Kamis, 13 Mei 2010

Peta ini aku bikin karena ada order untuk bikin Peta Warungasem dari temen kantor ayah karena katanya udah nyari dimana-mana gak ada semua, kacian dech..
Nah, ini dia hasilnya...
Selasa, 06 April 2010
BERAWAL DARI CINTA
Seorang Arab Badui menyeruak ke tengah-tengah jamaah shalat untuk mendekati Rasulullah SAW. Ketika sudah dekat dan Rasul sudah siap menunaikan shalat, orang itu bertanya, “Kapankah kiamat terjadi ?” Nabi tidak menjawab, karena shalat sudah hampir ditunaikan.
Ucapan takbir terucap dari mulut Rasulullah yang mulia, ayat demi ayat Alquran beliau senandungkan, begitu khidmat, khusyuk dan penuh pengahayatan. Tetes-tetes air mata berjatuhan dari pelupuk mata yang jernih. Para sahabat pun tenggelam dalam limpahan kasih sayang Ilahi.
Ketika shalat telah selesai dengan lembut penuh wibawa Rasulullah SAW bersabda, “Mana orang yang tadi bertanya tentang hari kiamat?” Orang itu segera menjawab, “saya, wahai Rasulullah”. Nabi balik bertanya,”Apa yang telah engkau persiapkan untuk menyambut datangnya kiamat?”.
Sejenak majlis itu diliputi suasana hening, sampai orang itu berucap “Saya tidak mempersiapkan amal yang banyak. Saya hanya mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Seiring tersunggingnya senyuman, Nabi yang mulia menjawab, “Engkau akan bersama-sama dengan orang yang engkau cintai”.
Sungguh luar biasa ungkapan Rasulullah SAW ini, begitu dalam dan penuh makna, hingga menggugah kepenasaran para sahabat untuk ikut bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ucapan itu hanya berlaku untuk dia saja?” Rasulullah SAW menjawab, “Tidak, ucapaanku ini berlaku pula untuk kalian dan orang-orang sesudah kalian.” Kegembiraan segera meyelimuti relung sanubari orang-orang yang hadir di majlis itu, hingga Anas bin Malik berujar, “Aku belum pernah melihat kaum muslimin begitu berbahagia setelah masuk Islam karena sesuatu, seperti bahagianya mereka ketika mendengar sabda Nabi SAW tersebut”.
Simpulannya, betapa besar konsekwensi cinta. Orang Arab Badui itu bukanlah siapa-siapa, namun kecintaannya kepada Allah dan Rasulullah membuat ia mendapat penghormatan begitu tinggi. Tidak tanggung-tanggung, Rasulullah SAW sendiri menjanjikan kebersamaan dengan dirinya di surga kelak. Padahal boleh jadi ibadah orang ini tidak sehebat para sahabat lain. Seperti itulah cinta, ia bisa membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, membuat sesuatu yang biasa menjadi luar biasa, dan yang hampa menjadi penuh makna.
Sejatinya cinta bukan sekedar kata sifat namun juga kata kerja. Cinta itu tidak statis, cinta itu dinamis, penuh vitalitas dan energi yang mampu membangkitkan kekuatan-kekuatan tersembunyi dalam diri, sampai akhirnya dahaga cinta itu terpuaskan. Apa yang dikatakan Arab Badui tadi bukanlah suatu yang sederhana. Dalam kata-kata yang ia ungkapkan tersimpan sebuah komitmen, keyakinan dan janji setia yang sarat makna. Itulah sebabnya Rasulullah SAW berani menjanjikan pahala yang menggiurkan kepadanya.
Cinta menimbulkan serangkaian konsekwensi. Ketika seseorang telah menyatakan cinta, maka segala tingkah lakunya akan berjalan di jalur cinta tersebut, jika cinta itu ditunjukkan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka segala tingkah lakunya akan diselaraskan dengan kehendak yang dicintainya. Bukankah seseorang pecinta akan berusaha untuk menghadirkan kesamaan dengan yang dicintainya, sehingga yang dicintainya menjadi ridlo kepadanya?
Cinta adalah sebentuk nikmat agung yang Allah karuniakan kepada manusia. Dengan anugerah cinta itulah hidup manusia jadi lebih bermakna (QS. Ali Imron [3]:14). Dengan anugerah cinta, setiap rintangan untuk bertemu sang kekasih akan dihadapi dengan sungguh-sungguh dan lapang dada bahkan senyumnya yang mengembang.
Lalu apakah cinta itu? Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mengatakan,”Tidak ada batasan cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri. Membatasinya hanya akan menambah kabur dan kering maknanya. Maka batasan dan penjelasan cinta tersebut tidak bisa dilukiskan hakikatnya secara jelas, kecuali dengan kata cinta itu sendiri. Walau demikian sesuatu yang sulit dimaknai bukan berarti tidak bisa dimaknai. Diantara makna cinta adalah kecenderungan yang terus menerus ( kepada yang dicintai). Bisa pula kesedihan hati menerima segala keinginan yang dicintainya. Atau kecenderungan hati untuk lebih mengutamakan yang dicintai daripada diri dan harta sendiri.
Ada empat unsur yang hadir dalam cinta, yaitu :
1. Care (Perhatian)
Cinta harus melahirkan perhatian pada objek yang dicintai. Ketika kita mencintai seseorang, maka kita akan memerhatikan kesulitan yang dihadapainya, akan berusaha meringankan bebannya dan memberikan perhatian yang tinggi atas setiap gerak geriknya. Begitu pula ketika mencintai Allah dan Rasul-Nya, kita akan berusaha memberikan perhatian yang lebih kepada semua hal yang diridloi dan yang dimurkai Allah dengan merujuk perilaku utusan-Nya, yaitu Rasulullah SAW. Oleh karena itu, seorang hamba beriman sulit untuk melalaikan kewajibannya kepada Allah dan Rasulullah.
2. Responsibility (Tanggung jawab)
Cinta harus melahirkan sikap bertanggungjawab terhadap objek yang dicintai. Orang tua yang mencintai anaknya, akan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan material, spiritual dan masa depan anaknya. Suami akan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangganya. Karyawan yang mencintai perusahaanya, akan bertanggungjawab dan mendedikasikan waktu, tenaga dan pemikirannya demi kemajuan perusahaannya. Sama halnya dengan orang yang mencintai Allah dan Rasul-nya akan melakukan hal yang sama.
3. Respect (Hormat)
Hormat bisa pula diartikan sebagai sikap menerima apadanya dan selalu berikhtiar agar tidak mengecewakannya. Dalam konteks hubungan dengan Allah dan Rasulullah, rasa hormat kita tercermin dari prinsip sami’na wa attha’na, mendengan dan taat. Jika itu yang disukai Allah dan dicontohkan Rasulullah, maka ia akan dengan sekuat tenaga melaksanakannya, karena ia yakin bahwa semua yang Allah perintahkan pasti baik untuk diri dan masa depannya.
4. Knowledge (Pengetahuan)
Cinta harus melahirkan minat untuk memahami seluk beluk oljek yang dicintainya. Ketika kita mencintai seseorang kita akan berusaha memahami kepribadian, latar belakang, keluarga dan kesukaanya. Ketika kita mencintai Allah dan Rasul-Nya pun akan berusaha mencari tahu siapa Allah dan Rasulullah itu. Kita akan bersemangat membaca dan mendengar menelaah dan bertanya tentang Dzat Allah dan pribadi Muhammad SAW. Sama halnya jika kita mencintai pekerjaan yang dibebankan, maka dengan serta merta ia akan selalu berusaha untuk melakukan hal yang terbaik dalam menjalankan pekerjaan tersebut.
Empat komponen cinta inilah yang senantiasa terpatri dihati para sahabat. Efek yang ditimbulkan begitu dahsyat. Kecintaan kepada Allah dan Rasulullah mempu melahirkan perubahan drastis dalam hidup mereka, dari kegelapan menuju cahaya, dari kebencian menuju kasih sayang dari kemunduran menjadi kemajuan. Dan semoga kita mempu meneladani mereka, Amin.
Wallahu’alam bishshawab
Seorang Arab Badui menyeruak ke tengah-tengah jamaah shalat untuk mendekati Rasulullah SAW. Ketika sudah dekat dan Rasul sudah siap menunaikan shalat, orang itu bertanya, “Kapankah kiamat terjadi ?” Nabi tidak menjawab, karena shalat sudah hampir ditunaikan.
Ucapan takbir terucap dari mulut Rasulullah yang mulia, ayat demi ayat Alquran beliau senandungkan, begitu khidmat, khusyuk dan penuh pengahayatan. Tetes-tetes air mata berjatuhan dari pelupuk mata yang jernih. Para sahabat pun tenggelam dalam limpahan kasih sayang Ilahi.
Ketika shalat telah selesai dengan lembut penuh wibawa Rasulullah SAW bersabda, “Mana orang yang tadi bertanya tentang hari kiamat?” Orang itu segera menjawab, “saya, wahai Rasulullah”. Nabi balik bertanya,”Apa yang telah engkau persiapkan untuk menyambut datangnya kiamat?”.
Sejenak majlis itu diliputi suasana hening, sampai orang itu berucap “Saya tidak mempersiapkan amal yang banyak. Saya hanya mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Seiring tersunggingnya senyuman, Nabi yang mulia menjawab, “Engkau akan bersama-sama dengan orang yang engkau cintai”.
Sungguh luar biasa ungkapan Rasulullah SAW ini, begitu dalam dan penuh makna, hingga menggugah kepenasaran para sahabat untuk ikut bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ucapan itu hanya berlaku untuk dia saja?” Rasulullah SAW menjawab, “Tidak, ucapaanku ini berlaku pula untuk kalian dan orang-orang sesudah kalian.” Kegembiraan segera meyelimuti relung sanubari orang-orang yang hadir di majlis itu, hingga Anas bin Malik berujar, “Aku belum pernah melihat kaum muslimin begitu berbahagia setelah masuk Islam karena sesuatu, seperti bahagianya mereka ketika mendengar sabda Nabi SAW tersebut”.
Simpulannya, betapa besar konsekwensi cinta. Orang Arab Badui itu bukanlah siapa-siapa, namun kecintaannya kepada Allah dan Rasulullah membuat ia mendapat penghormatan begitu tinggi. Tidak tanggung-tanggung, Rasulullah SAW sendiri menjanjikan kebersamaan dengan dirinya di surga kelak. Padahal boleh jadi ibadah orang ini tidak sehebat para sahabat lain. Seperti itulah cinta, ia bisa membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, membuat sesuatu yang biasa menjadi luar biasa, dan yang hampa menjadi penuh makna.
Sejatinya cinta bukan sekedar kata sifat namun juga kata kerja. Cinta itu tidak statis, cinta itu dinamis, penuh vitalitas dan energi yang mampu membangkitkan kekuatan-kekuatan tersembunyi dalam diri, sampai akhirnya dahaga cinta itu terpuaskan. Apa yang dikatakan Arab Badui tadi bukanlah suatu yang sederhana. Dalam kata-kata yang ia ungkapkan tersimpan sebuah komitmen, keyakinan dan janji setia yang sarat makna. Itulah sebabnya Rasulullah SAW berani menjanjikan pahala yang menggiurkan kepadanya.
Cinta menimbulkan serangkaian konsekwensi. Ketika seseorang telah menyatakan cinta, maka segala tingkah lakunya akan berjalan di jalur cinta tersebut, jika cinta itu ditunjukkan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka segala tingkah lakunya akan diselaraskan dengan kehendak yang dicintainya. Bukankah seseorang pecinta akan berusaha untuk menghadirkan kesamaan dengan yang dicintainya, sehingga yang dicintainya menjadi ridlo kepadanya?
Cinta adalah sebentuk nikmat agung yang Allah karuniakan kepada manusia. Dengan anugerah cinta itulah hidup manusia jadi lebih bermakna (QS. Ali Imron [3]:14). Dengan anugerah cinta, setiap rintangan untuk bertemu sang kekasih akan dihadapi dengan sungguh-sungguh dan lapang dada bahkan senyumnya yang mengembang.
Lalu apakah cinta itu? Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mengatakan,”Tidak ada batasan cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri. Membatasinya hanya akan menambah kabur dan kering maknanya. Maka batasan dan penjelasan cinta tersebut tidak bisa dilukiskan hakikatnya secara jelas, kecuali dengan kata cinta itu sendiri. Walau demikian sesuatu yang sulit dimaknai bukan berarti tidak bisa dimaknai. Diantara makna cinta adalah kecenderungan yang terus menerus ( kepada yang dicintai). Bisa pula kesedihan hati menerima segala keinginan yang dicintainya. Atau kecenderungan hati untuk lebih mengutamakan yang dicintai daripada diri dan harta sendiri.
Ada empat unsur yang hadir dalam cinta, yaitu :
1. Care (Perhatian)
Cinta harus melahirkan perhatian pada objek yang dicintai. Ketika kita mencintai seseorang, maka kita akan memerhatikan kesulitan yang dihadapainya, akan berusaha meringankan bebannya dan memberikan perhatian yang tinggi atas setiap gerak geriknya. Begitu pula ketika mencintai Allah dan Rasul-Nya, kita akan berusaha memberikan perhatian yang lebih kepada semua hal yang diridloi dan yang dimurkai Allah dengan merujuk perilaku utusan-Nya, yaitu Rasulullah SAW. Oleh karena itu, seorang hamba beriman sulit untuk melalaikan kewajibannya kepada Allah dan Rasulullah.
2. Responsibility (Tanggung jawab)
Cinta harus melahirkan sikap bertanggungjawab terhadap objek yang dicintai. Orang tua yang mencintai anaknya, akan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan material, spiritual dan masa depan anaknya. Suami akan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangganya. Karyawan yang mencintai perusahaanya, akan bertanggungjawab dan mendedikasikan waktu, tenaga dan pemikirannya demi kemajuan perusahaannya. Sama halnya dengan orang yang mencintai Allah dan Rasul-nya akan melakukan hal yang sama.
3. Respect (Hormat)
Hormat bisa pula diartikan sebagai sikap menerima apadanya dan selalu berikhtiar agar tidak mengecewakannya. Dalam konteks hubungan dengan Allah dan Rasulullah, rasa hormat kita tercermin dari prinsip sami’na wa attha’na, mendengan dan taat. Jika itu yang disukai Allah dan dicontohkan Rasulullah, maka ia akan dengan sekuat tenaga melaksanakannya, karena ia yakin bahwa semua yang Allah perintahkan pasti baik untuk diri dan masa depannya.
4. Knowledge (Pengetahuan)
Cinta harus melahirkan minat untuk memahami seluk beluk oljek yang dicintainya. Ketika kita mencintai seseorang kita akan berusaha memahami kepribadian, latar belakang, keluarga dan kesukaanya. Ketika kita mencintai Allah dan Rasul-Nya pun akan berusaha mencari tahu siapa Allah dan Rasulullah itu. Kita akan bersemangat membaca dan mendengar menelaah dan bertanya tentang Dzat Allah dan pribadi Muhammad SAW. Sama halnya jika kita mencintai pekerjaan yang dibebankan, maka dengan serta merta ia akan selalu berusaha untuk melakukan hal yang terbaik dalam menjalankan pekerjaan tersebut.
Empat komponen cinta inilah yang senantiasa terpatri dihati para sahabat. Efek yang ditimbulkan begitu dahsyat. Kecintaan kepada Allah dan Rasulullah mempu melahirkan perubahan drastis dalam hidup mereka, dari kegelapan menuju cahaya, dari kebencian menuju kasih sayang dari kemunduran menjadi kemajuan. Dan semoga kita mempu meneladani mereka, Amin.
Wallahu’alam bishshawab
Rabu, 31 Maret 2010
Diet Bicara
Manfaat Kesehatan dan Keruhanian
Almin Jawad Moerteza
Para ilmuwan masa kini telah menghempaskan semua
pengorbanan diri dan kerendahan hati
Mereka sembunyikan hati dalam kecerdikan
dan permainan bahasa
Raja sejati adalah dia yang mengusai pikirannya
Bukan dia yang pikirannya menguasai dunia dan dirinya
Jalaluddin Rumi - Matsnawi-e ma’nawi
Karena merasa tahu segala hal, Ali, seorang filosof dengan bangga berbicara apa saja di hadapan siapa saja. Ia berkisah tanpa henti laksana burung beo yang ketika berkicau sulit dihentikan. Semua orang mengenalnya lantaran kedalaman dan keluasan ilmunya. Ia tahu banyak tentang sains dan seni. Sahabatnya, Sam, terganggu oleh riuh pembicaraannya. Ia ingin agar Ali sadar bahwa pengetahuan konseptualnya tentang dunia dimana tempat mereka tinggal dan dunia yang ia bicarakan tidaklah sesederhana yang ia bayangkan. Namun Ali, sang filosof yang ahli mengkotak katik otak, selalu saja mementahkan argumen-argumennya. Sam terpaku. Bibirnya berhenti berucap. Rona wajahnya muram. Ada kerasahan menyelimuti sebagaimana yang tampak pada kerutan di wajahnya. Rasanya, ia ingin mengembalikkan sahabatnya yang asyik dengan dunianya sendiri. Dunia delusi. Membawanya kepada kehidupan yang sesungguhnya.
Setelah berpikir keras, ia mengajak Ali agar ikut berlayar bersamanya. Di tengah laut, penyakit Ali kambuh. Kebiasaannya berceloteh kumat lagi. Ia berbicara tentang filsafat dengan para pelaut. Para awak kapal mendengarkan dengan sabar tanpa berkata sepatah katapun. Tapi tiba-tiba dari dalam kerumunan, seorang nahkoda menyela pembicaraan dan meminta Ali agar menghentikan ocehannya.
“Apakah engkau mengerti tentang filsafat?”, tanya Ali. “Sama sekali tidak”, jawab sang nahkoda. Ali menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berkata, “Sayang sekali, sebab separuh hidupmu terbuang percuma karena tidak punya pengetahuan seperti ini”. Nahkoda itu pun membisu.
Ali masih saja berbicara. Dari mulutnya kata-kata mengucur deras. Ia menjelaskan bagaimana pemerintah semestinya mengatur negara. Ia berbicara bagaimana seharusnya pemerintah menangani berbagai persoalan yang mendera bangsa dan masyarakatnya.
To make the long story short – Sampai suatu malam, ketika berada di tengah lautan, dalam perjalanan pulang, badai datang bergulung-gulung disertai hujan lebat menghempaskan kapal. Kapal diremukkan oleh gelombang bak rumah yang hampir roboh karena goncangan tsunami. Sang kapten tidak sanggup mengendalikan kapal. Geledak kapal mulai dipenuhi air. Kapal perlahan-lahan mulai karam. Para awak panik dan ketakutan. Kepada awak, nahkoda berseru untuk bergegas meninggalkan kapal. Dalam keadaan bersiap untuk terjun, si nahkoda teringat pada Ali. Segera ia menerobos kerumunan orang mencari Ali.
Di pintu kabin Ali berdiri seorang diri. Nahkoda kapal menarik tangannya. “Cepatlah, kita harus meninggalkan kapal ini sesegera mungkin!”, pinta sang nahkoda. Ali tampak kebingungan. Melihat Ali kebingungan, nahkoda itu berteriak lagi, “Apa kau bisa berenang?”. “Tidak!”, jawab Ali.
“Sungguh sayang”, kata nahkoda kapal itu sambil menggelengkan kepalanya, “sebab seluruh hidupmu terbuang sia-sia karena tidak tahu ilmu berenang”.
Setelah badai reda, sebuah kapal yang lewat menolong mereka. Ali beserta nahkoda dan awak kapal lainnya selamat. Sejak saat itu Ali tak pernah lagi membangga-banggakan pengetahuannya. Badai di malam itu telah membuatnya membatin. Mengurangi kebiasaannya yang asal bicara. Mengobatinya dari sakit ‘bicara asal’.
Beberapa tahun sesudah peristiwa itu. Ali memberikan hadiah kepada nahkoda yang dulu menyelamatkannya yang kini menjadi sahabatnya. Hadiah itu berupa lukisan sebuah kapal di tengah samudra yang sedang diombang-ambingkan gelombang dan amukan badai. Dua bait syair tertulis dibawah lukisan itu:
“Hanya benda-benda kosong yang terapung di atas air.
Kosongkan dirimu dari sifat-sifat kemanusiaan, dan engkau
akan mengapung di lautan penciptaan”.
Ini kisah Jalaluddin Rumi dalam bukunya Matsnawi. Saya mengutip kisah ini dari buku yang menghimpun cerita-cerita menakjubkan dari negeri sufi, Tales from the land of the Sufis (Cerita-cerita Dari Negeri Sufi) karya Mojdeh Bayat dan Muhammad Ali Jamnia. Cerita ini mengajarkan banyak hal berharga kepada kita. Seperti filosof dalam cerita Rumi, kita berusaha bicara banyak tapi pembicaraan kita tidak memberi manfaat dalam kehidupan. Dari sekian banyak penyakit yang diderita manusia modern sekarang ini, salah satunya adalah banyak bicara. Mereka bicara apa saja tanpa peduli pada siapa mereka bicara. Mereka bicara terus-menrus tanpa perduli apakah orang lain membutuhkan omongan mereka.
Selain dari makan dan minum, manusia modern abad ini memperoleh kesenangan (pleasure) atau kepuasan (satisfaction) dari asal bicara. Mereka mengkhotbahkan tentang apa yang tidak mereka lakukan. Tidak saja asal bicara, tapi mereka juga bicara asal. They talk too much about nothing. Dalam Al-Quran, Allah swt menunjukkan kemurkaan-Nya kepada orang-orang yang berbicara: “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu membicarakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Al-Shaf: 3) Meskipun demikian, dalam Al-Quran juga disebutkan bahwa kemampuan bicara adalah fitrah manusia yang diberikan oleh Allah seperti dinyatakan dalam surat Al-Rahman: “Tuhan Yang Mahapemurah, Yang telah mengajarkan Al-Quran. Dia menciptakan manusia dan mengajarnya pandai berbicara”. (QS. Al-Rahman: 1-4).
Dalam peristiwa mikraj diceritakan ketika Nabi Muhammad saw isra dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, beliau melihat di pertengahan jalan ada seorang yang mengguntingi lidahnya berulang kali. Malaikat Jibril menjelaskan, “Itulah tukang-tukang ceramah yang suka memberikan nasihat kepada orang banyak tetapi ia tidak mempraktikkan apa yang ia khotbahkan.”
Manfaat Diet Bicara
YANG dimaksud degan diet bicara adalah tidak saja meninggalkan pembicaraan yang kotor, gosip, rumor, isu, cacian, umpatan, hujatan, dan gunjingan akan tetapi memperluas atau menambah jangkauan diet bicara kita untuk tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu.
Faedah pertama dari mengurangi bicara adalah menyehatkan lahiriah dan batiniah kita. Menurut Imam Khomeini dalam Wasiat Sufi, “anak-anak itu senang dengan permainan. Dunia mereka adalah dunia yang dipenuhi dengan canda dan tawa. Mereka memandang dunia dengan penuh ceria. Ia akan menghabiskan hidupnya dengan bermain. Kalau seorang anak itu diam, berarti dia lagi sedang sakit”. Diamnya anak, bukan sekedar menunjukkan bahwa dirinya sedang sakit tetapi ia juga memberi kesempatan kepada orang lain (dokter) untuk bicara. Memberi kesempatan kepada dokter untuk mendiagnosa dan melakukan pengobatan. Secara lahiriah fisiknya terobati dan secara batiniah jiwanya tertolong.
Dinegri kita, setelah banyak orang dibungkam untuk waktu yang lama, tiba-tiba banyak orang bicara apa saja, kapan saja, dimana saja. Seperti anak-anak, mereka berbicara terus-menerus. Mereka hanya bisa diam kalau lagi menderita sakit.
Dari beberapa penelitian ilmiah, diketahui bahwa stres yang diderita kebanyakan orang disebabkan oleh keinginan yang berlebihan. Orang yang banyak mengalami stres rentan terhadap penyakit. Mereka mengalami gangguan pada sistem imun atau kekebalan dalam tubuhnya. Orang stres mengalami intensitas emosi yang tinggi (dan menyiksa): mudah tersinggung, berang, gelisah, jengkel, rasa tertekan dan sebagainya; pendeknya, kehilangan rasa aman. Selain itu, stres yang bersifat psikologis semacam ini selalu menlibatkan gejala-gejala jasmaniah: tekanan darah tinggi (hipertensi), denyut nadi dan detak jantung yang cepat, otot-otot yang menegang, telapak tangan yang berkeringat. Al-Quran menggambarkan situasi stres ini dengan kalimat, “Dijadikan-Nya dadanya sesak dan sempit, seperti orang naik ke langit” (QS. Al-An’am 125). Dalam ayat lain Allah menyebut orang stres itu sebagai orang mengalami masyatan dhaka, kehidupan yang sulit dan sempit (QS. Thaha 124). Orang stres adalah orang yang kehilangan ketentraman hati atau ‘sakinah’. Ini menunjukkan bahwa penyakit jiwa amat berpengaruh dalam menimbulkan gangguan fisik. Sebaliknya, penyakit fisik dapat menimbulkan gangguan jiwa. Bila hari ini Anda gelisah, risau, dan tanda-tanda stres lainnya, mengapa tidak Anda tinjau kembali daftar keinginan Anda. Kurangilah keinginan Anda (termasuk keinginan Anda untuk bicara tanpa jedah) jika Anda ingin hidup sehat. Demikian pula sebaliknya, bilamana hidup Anda ingin dipenuhi stres, tambalah terus keinginan Anda untuk terus bicara.
Dalam dunia sufi, terkenal hadis Nabi Saw: “Mûtu qabla antamûtu. Matilah kamu sebelum kamu mati”. Dalam kalimat itu disebut dua kali kata “mati” untuk menunjukkan dua kematian. Kematian pada kata tamûtu adalah kematian alami, kematian yang kita kenal, al-maut al-thabi’i. Kematian pada kata perintah mûtu adalah apa yang oleh Ibn ‘Arabi sebut sebagai kematian keinginan. Inilah kematian mistikal, kematian ego. Sebenarnya kita memiliki hati yang selalu mengajak kita berbicara. Salah satu pembicaraan hati adalah mengecam perilaku-perilaku kita yang kurang baik. Jadi, kita memiliki hati yang mengobati penyakit batiniah kita. Seperti disebutkan dalam Al-Quran: “Sungguh aku bersumpah demi hati yang selalu mengecam.” (QS. Al-Qiyamah: 2). Menurut Sayyid Haidar Amuli,hati kita bisa bicara hanya kalau kita berkenan membunuh keinginan kita untuk terus bicara, menahan mulut kita untuk tidak ngomong, itu berarti kita mengizinkan hati kita untuk bicara lebih banyak.
Kali ini saya ingin katakan kepada Anda, “Diagnosalah dirimu sebelum orang lain mendiagnosamu. Jadilah dokter bagi diri Anda sendiri, sebelum orang lain menjdi dokter bagimu”. Karena dokter lain hanya akan mendatangkan banyak mudharat ketimbang maslahat. Dengan pertolongannya, bisa jadi Anda sembuh dari sakit yang kamu derita. Kamu sehat kembali. Tapi kantong Anda yang makin menipis kemungkinan bisa menjadi penyebab sakit yang kamu derita selanjutnya.
Kebiasaan kita yang asal bicara tanpa henti telah melemahkan kemampuan kita untuk mendiagnosa penyakit yang kita derita. Jika anda tidak dapat mengendalikan diri anda untuk diam, maka alam akan memaksa anda diam untuk mendengarkan orang lain. Karena kasih sayangNya, sebetulnya Tuhan menginginkan anda sehat. Sakit yang kita derita sebenarnya adalah cara Tuhan untuk mendidik kita agar belajar diam. Jika anda masih tidak mau diam maka jiwamu tidak dapat diselamatkan (itu berarti bunuh diri).
Faedah kedua dari diet bicara adalah kemampuan untuk menundukkan sikap superioritas. Sikap yang menunjukkan Anda lebih tinggi atau lebih baik dari orang lain karena status, kekayaan, kekuasaan, kemampuan intelektual, atau kecantikan. Dalam masyarakat, konflik sering terjadi karena semua pihak merasa berhak untuk bicara. Sikap merasa lebih (lebih mulia, lebih pandai, lebih baik, dan lebih tinggi) telah menggiring kita untuk terus bicara dan pada saat yang sama pembicaraan kita menyumbat pendengaran kita. Tidak jarang, pembicaraan kita lebih banyak mengandung kekerasan ketimbang edukasi. Pembicaraan kita adalah pembicaraan yang provokatif dan tidak mencerahkan. Superioritas akan melahirkan sikap defensif. Karena itu, kita selalu saja membuat gaduh situasi. Kita lebih senang menyerang kelompok lain – dengan menyudutkan dan mencemoohkannya – hanya karena perbedaan metode dakwah (daripada perbedaan paham). Kemuliaan kelompok kita terletak pada penghinaan kita terhadap kelompok lain yang berbeda mazhab dengan kita. Seolah ingin kita berkata kepada seluruh mahluk,”saksikanlah manusia dan jin, betapa hinanya mereka”. Banyak orang kehilangan ketengan hidupnya karena banyaknya komentar yang terucap dan dimuat di media massa. Mereka resah, cemas, takut, dan bingung. Kita menjadi penyebab penderitaan banyak orang. Nabi Saw pernah bersabda, “Orang Islam adalah orang yang orang lain selamat dari gangguan lidah dan tanggannya”. Dalam definisi Nabi, kita tidak termasuk orang Islam lagi.
Dalam sebuah hadis Shahih Bukhari, Rasulullah saw bersabda, “Tidak dihitung mukmin, orang yang suka melaknat orang lain, suka menyakiti hati orang lain, atau berkata kotor.”
Hadis yang lain meriwayatkan Rasulullah saw berkata, “Tidak akan lurus iman seseorang sebelum lurus hatinya dan tidak akan lurus hati seseorang sebelum lurus lidahnya. Dan tidak pernah masuk surga seseorang yang tetangganya tidak aman dari gangguan lidahnya.” Orang yang lidahnya senang mengganggu tetangganya diharamkan masuk surga. Di zaman Nabi, suatu hari dilaporkan kepada Nabi perihal seorang perempuan yang kerjanya setiap hari berpuasa dan setiap malam salat tahajud, tetapi perempuan ini sering menyakiti hati tetangganya dengan lidahnya. Rasulullah saw mengatakan, “Dia berada di neraka.”
Laksana api, superioritas melahap apa saja yang ada dihadapannya. Ia hanya dapat dihentikan dengan siraman air yang menyejukkan. Air sejuk itu adalah kemampuan kita untuk mendengarkan dengan baik atau rendah hati (tawadhu). Karena, orang yang superioritas biasanya tidak mau mendegarkan. Mari dengarkan cerita Kang Jalal berikut ini.
Alkisah, serombongan Quraisy datang menemui Nabi Saw. Waktu itu beliau sedang berada di masjid. Salah seorang dari mereka yang pandai bicara memberanikan diri untuk bertanya perihal keberanian Nabi Saw menyebarkan agama baru. Agama yang belum pernah dibawah siapapun sebelum Nabi Saw. Kemudian ia menasehati dan meminta Nabi Saw agar menghentikan dakwahnya. Ia juga menjanjikan harta, kekuasaan, dan kemuliaan kepada Rasulullah sekiranya beliau menghentikan kegaiatan dakwahnya. Nabi saw mendengarkan dengan sabar. Tidak sekalipun beliau memotong pembicaraannya, ketika Utbah berhenti, Nabi bertanya, “Sudah selesaikah ya Abal Walid?” Sudah, kata Utbah. Nabi membalas ucapan Utbah dengan membaca surat Fushilat hingga usai.
Sementara itu Utbah duduk mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya. Ia kemabali kepada kaumnya. Utbah menyeru kaumnya untuk mengimani apa yang disampaikan Nabi Saw. Paling tidak mereka membiarkan Nabi Saw bicara. Orang-orang Quaraisy berang, mereka berteriak marah. Orang Quraisy ternyata tidak mau mendengarkan nasihat dari Utbah, seorang yang dihormati ditengah kaum Quraisy.
Peristiwa itu sudah lewat ratusan tahun yang lalu. Betapa akhlak Nabi Saw digambarkan penuh santun. Nabi Saw dengan sabar mendengarkan pendapat dan usul Utbah, seorang kafir Quraisy. Kita banyak mendengar tentang akhlak Nabi Saw yang mau menghormati pendapat orang lain. Yang mengherankan adalah akhlak kita yang menisbahkan diri sebagai pengikut Nabi Saw. Bahkan dengan Utbah, si kafir, kita kalah. Jangankan mendengarkan pendapat kaum kafir, seperti Nabi Saw. Kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim. Layaknya pembesar-pembesar Qurais kita lebih senang memilih To shoot it out! Membungkam dan memberantas sampai habis.
Manfaat ketiga dari diet bicara adalah menghapus riya dalam pembicaraan. Riya dalam pembicaraan adalah upaya merekayasa pembicaraan kita dengan tujuan menimbulkan kesan bahwa kita orang saleh. Sudah terlalu sering kita mengutip ayat-ayat kitab suci dalam pembicaraan kita (walau tidak relevan dengan apa yang kita bicarakan) hanya untuk membentuk kesan bahwa kita adalah orang saleh, orang alim, atau orang yang dekat dengan Tuhan. Menurut Imam Al-Ghazali, termasuk kejahatan lidah (riya) bila kita ingin menunjukkan kefasihan pembicaraan kita kemudian kita hias pembicaraan kita dengan hal-hal yang tidak perlu, agar orang lebih tertarik pada omongan kita dan memandang kita sebagai orang saleh. Untuk menghapus riya dalam pembicaraan kita, kita harus belajar diam atau paling tidak mengurangi bicara kita. Diet bicara dapat memotong kesengan kita berbicara.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang diam, dia pasti selamat.” Sementara pada waktu lain, Rasulullah saw berkata, “Diam itu kearifan tetapi sangat sedikit orang yang melakukannya.”
Bagaimana kalau kita mengatur penampakkan kita bukan untuk dinilai sebagai orang saleh melainkan sebagai orang pandai? Bagi sebagian orang hal itu dibolehkan asal dalam melakukannya tidak berlebih-lebihan. Riya hanya berlaku dalam ibadat. Mengatur pembicaraan agar tampak fasih, dalam sebuah wawancara kerja, supaya diterima, tentu saja tidak merupakan dosa. Itu hanya tidak jujur. Meski demikian, kita harus belajar jujur dalam mengungkapkan siapa diri kita kepada orang lain. Sebisa mungkin, kita harus menghindari terlalu banyak melakukan ‘penopengan’. Seperti kata Rumi dalam syairnya:
Para ilmuwan masa kini telah menghempaskan semua
pengorbanan diri dan kerendahan hati
Mereka sembunyikan hati dan kecerdikan
dalam permainan bahasa
Raja sejati adalah dia yang mengusai pikirannya
Bukan dia yang pikirannya menguasai dunia dan dirinya
Menurut Jalaluddin Rakhmat, “Kita tidak menaruh kepercayaan kepada orang yang tidak jujur atau sering menyembunyikan pikiran dan pendapatnya. Kita menaruh kepercayaan kepada orang yang terbuka, atau tidak mempunyai pretensi untuk dibuat-buat. Kita akan mencurigai orang yang melakukan impression management atau katakanlah terlalu ‘halus’ sehingga terlalu amat sering menyembunyikan isi hatinya atau membungkus pendapat dengan lambang-lambang verbal dan nonverbal”. Orang yang suka bohong membuat kita sukar menebak perilakunya. Ia sepenuhnya berada dalam kontrol ‘tirany of the should’. Sebaliknya, kejujuran menyebabkan orang menjadi merdeka tanpa kendali orang lain atau sesuatu yang berasal dari luar dirinya” sehingga perilakunya dapat diduga (predictable). Ia adalah orang yang berhasil melepaskan diri dari “tirani yang seharusnya”.
Manfaat lain dari mengurangi bicara adalah memperoleh anugrah lebih dari Allah Azza wa Jalla berupa kefasihan berbicara dan terbukanya pintu kegaiban. Tentu Anda masih ingat tentang Maryam yang dikisahkan dalam Al-Quran. Karena Maryam diet bicara, Tuhan menjadikan bayi dalam buaiannya berbicara sangat jelas. Ketika Maryam kembali dari mihrabnya dengan menggendong anaknya, bayi itulah yang menjawab hujatan banyak orang. Menurut Haydar Amuli, bila kita diam sejenak, Tuhan akan memperdengarkan kepada kita dengan sangat jernih suara hati nurani kita. Lewat hati yang merupakan kediaman Tuhan dalam diri kita, Tuhan menyampaikan petunjuk-Nya. Karena terlalu banyak bicara, kita tidak lagai sanggup mendengar suara Tuhan dalam hati nurani kita. Kita menjadi Tuli karena kita terlalu bising. Isyarat-isyarat gaib yang Tuhan berikan melalui hati kita terhalang oleh riuhnya pembicaraan kita.
Nabi Zakariya as amat bahagia ketika disampaikan kepadanya ihwal ia akan diakaruniai seorang putra. Zakaria as hampir tidak percaya, “Bagaimana mungkin aku punya anak, ya Allah. Padahal istriku mandul dan aku pun sudah tua renta.” (QS. Maryam: Lalu Tuhan menjawab, “Hal itu mudah bagi Allah. Bukankah kamu pun asalnya tiada lalu Aku ciptakan kamu.” (QS. Maryam: 9) Zakaria masih penasaran dan ia minta kepada Allah, “Apa tandanya, ya Allah?” Tuhan menjawab, “Tandanya ialah kau harus puasa bicara. Kau tidak boleh berkata kepada seorang manusia pun selama tiga hari berturut-turut.” (QS. Maryam: 10)
Zakaria as diperintahkan Tuhan untuk mensyukuri nikmat yang diterimanya dengan diet bicara. Ajaibnya, karena keseringan bicara, kita sekarang ini boro-boro diet bicara kita bahkan hampir tidak tahu bagaimana mensyukuri karuni Tuhan kepada kita.
(sumber : Buletin Mitsal)
Manfaat Kesehatan dan Keruhanian
Almin Jawad Moerteza
Para ilmuwan masa kini telah menghempaskan semua
pengorbanan diri dan kerendahan hati
Mereka sembunyikan hati dalam kecerdikan
dan permainan bahasa
Raja sejati adalah dia yang mengusai pikirannya
Bukan dia yang pikirannya menguasai dunia dan dirinya
Jalaluddin Rumi - Matsnawi-e ma’nawi
Karena merasa tahu segala hal, Ali, seorang filosof dengan bangga berbicara apa saja di hadapan siapa saja. Ia berkisah tanpa henti laksana burung beo yang ketika berkicau sulit dihentikan. Semua orang mengenalnya lantaran kedalaman dan keluasan ilmunya. Ia tahu banyak tentang sains dan seni. Sahabatnya, Sam, terganggu oleh riuh pembicaraannya. Ia ingin agar Ali sadar bahwa pengetahuan konseptualnya tentang dunia dimana tempat mereka tinggal dan dunia yang ia bicarakan tidaklah sesederhana yang ia bayangkan. Namun Ali, sang filosof yang ahli mengkotak katik otak, selalu saja mementahkan argumen-argumennya. Sam terpaku. Bibirnya berhenti berucap. Rona wajahnya muram. Ada kerasahan menyelimuti sebagaimana yang tampak pada kerutan di wajahnya. Rasanya, ia ingin mengembalikkan sahabatnya yang asyik dengan dunianya sendiri. Dunia delusi. Membawanya kepada kehidupan yang sesungguhnya.
Setelah berpikir keras, ia mengajak Ali agar ikut berlayar bersamanya. Di tengah laut, penyakit Ali kambuh. Kebiasaannya berceloteh kumat lagi. Ia berbicara tentang filsafat dengan para pelaut. Para awak kapal mendengarkan dengan sabar tanpa berkata sepatah katapun. Tapi tiba-tiba dari dalam kerumunan, seorang nahkoda menyela pembicaraan dan meminta Ali agar menghentikan ocehannya.
“Apakah engkau mengerti tentang filsafat?”, tanya Ali. “Sama sekali tidak”, jawab sang nahkoda. Ali menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berkata, “Sayang sekali, sebab separuh hidupmu terbuang percuma karena tidak punya pengetahuan seperti ini”. Nahkoda itu pun membisu.
Ali masih saja berbicara. Dari mulutnya kata-kata mengucur deras. Ia menjelaskan bagaimana pemerintah semestinya mengatur negara. Ia berbicara bagaimana seharusnya pemerintah menangani berbagai persoalan yang mendera bangsa dan masyarakatnya.
To make the long story short – Sampai suatu malam, ketika berada di tengah lautan, dalam perjalanan pulang, badai datang bergulung-gulung disertai hujan lebat menghempaskan kapal. Kapal diremukkan oleh gelombang bak rumah yang hampir roboh karena goncangan tsunami. Sang kapten tidak sanggup mengendalikan kapal. Geledak kapal mulai dipenuhi air. Kapal perlahan-lahan mulai karam. Para awak panik dan ketakutan. Kepada awak, nahkoda berseru untuk bergegas meninggalkan kapal. Dalam keadaan bersiap untuk terjun, si nahkoda teringat pada Ali. Segera ia menerobos kerumunan orang mencari Ali.
Di pintu kabin Ali berdiri seorang diri. Nahkoda kapal menarik tangannya. “Cepatlah, kita harus meninggalkan kapal ini sesegera mungkin!”, pinta sang nahkoda. Ali tampak kebingungan. Melihat Ali kebingungan, nahkoda itu berteriak lagi, “Apa kau bisa berenang?”. “Tidak!”, jawab Ali.
“Sungguh sayang”, kata nahkoda kapal itu sambil menggelengkan kepalanya, “sebab seluruh hidupmu terbuang sia-sia karena tidak tahu ilmu berenang”.
Setelah badai reda, sebuah kapal yang lewat menolong mereka. Ali beserta nahkoda dan awak kapal lainnya selamat. Sejak saat itu Ali tak pernah lagi membangga-banggakan pengetahuannya. Badai di malam itu telah membuatnya membatin. Mengurangi kebiasaannya yang asal bicara. Mengobatinya dari sakit ‘bicara asal’.
Beberapa tahun sesudah peristiwa itu. Ali memberikan hadiah kepada nahkoda yang dulu menyelamatkannya yang kini menjadi sahabatnya. Hadiah itu berupa lukisan sebuah kapal di tengah samudra yang sedang diombang-ambingkan gelombang dan amukan badai. Dua bait syair tertulis dibawah lukisan itu:
“Hanya benda-benda kosong yang terapung di atas air.
Kosongkan dirimu dari sifat-sifat kemanusiaan, dan engkau
akan mengapung di lautan penciptaan”.
Ini kisah Jalaluddin Rumi dalam bukunya Matsnawi. Saya mengutip kisah ini dari buku yang menghimpun cerita-cerita menakjubkan dari negeri sufi, Tales from the land of the Sufis (Cerita-cerita Dari Negeri Sufi) karya Mojdeh Bayat dan Muhammad Ali Jamnia. Cerita ini mengajarkan banyak hal berharga kepada kita. Seperti filosof dalam cerita Rumi, kita berusaha bicara banyak tapi pembicaraan kita tidak memberi manfaat dalam kehidupan. Dari sekian banyak penyakit yang diderita manusia modern sekarang ini, salah satunya adalah banyak bicara. Mereka bicara apa saja tanpa peduli pada siapa mereka bicara. Mereka bicara terus-menrus tanpa perduli apakah orang lain membutuhkan omongan mereka.
Selain dari makan dan minum, manusia modern abad ini memperoleh kesenangan (pleasure) atau kepuasan (satisfaction) dari asal bicara. Mereka mengkhotbahkan tentang apa yang tidak mereka lakukan. Tidak saja asal bicara, tapi mereka juga bicara asal. They talk too much about nothing. Dalam Al-Quran, Allah swt menunjukkan kemurkaan-Nya kepada orang-orang yang berbicara: “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu membicarakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Al-Shaf: 3) Meskipun demikian, dalam Al-Quran juga disebutkan bahwa kemampuan bicara adalah fitrah manusia yang diberikan oleh Allah seperti dinyatakan dalam surat Al-Rahman: “Tuhan Yang Mahapemurah, Yang telah mengajarkan Al-Quran. Dia menciptakan manusia dan mengajarnya pandai berbicara”. (QS. Al-Rahman: 1-4).
Dalam peristiwa mikraj diceritakan ketika Nabi Muhammad saw isra dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, beliau melihat di pertengahan jalan ada seorang yang mengguntingi lidahnya berulang kali. Malaikat Jibril menjelaskan, “Itulah tukang-tukang ceramah yang suka memberikan nasihat kepada orang banyak tetapi ia tidak mempraktikkan apa yang ia khotbahkan.”
Manfaat Diet Bicara
YANG dimaksud degan diet bicara adalah tidak saja meninggalkan pembicaraan yang kotor, gosip, rumor, isu, cacian, umpatan, hujatan, dan gunjingan akan tetapi memperluas atau menambah jangkauan diet bicara kita untuk tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu.
Faedah pertama dari mengurangi bicara adalah menyehatkan lahiriah dan batiniah kita. Menurut Imam Khomeini dalam Wasiat Sufi, “anak-anak itu senang dengan permainan. Dunia mereka adalah dunia yang dipenuhi dengan canda dan tawa. Mereka memandang dunia dengan penuh ceria. Ia akan menghabiskan hidupnya dengan bermain. Kalau seorang anak itu diam, berarti dia lagi sedang sakit”. Diamnya anak, bukan sekedar menunjukkan bahwa dirinya sedang sakit tetapi ia juga memberi kesempatan kepada orang lain (dokter) untuk bicara. Memberi kesempatan kepada dokter untuk mendiagnosa dan melakukan pengobatan. Secara lahiriah fisiknya terobati dan secara batiniah jiwanya tertolong.
Dinegri kita, setelah banyak orang dibungkam untuk waktu yang lama, tiba-tiba banyak orang bicara apa saja, kapan saja, dimana saja. Seperti anak-anak, mereka berbicara terus-menerus. Mereka hanya bisa diam kalau lagi menderita sakit.
Dari beberapa penelitian ilmiah, diketahui bahwa stres yang diderita kebanyakan orang disebabkan oleh keinginan yang berlebihan. Orang yang banyak mengalami stres rentan terhadap penyakit. Mereka mengalami gangguan pada sistem imun atau kekebalan dalam tubuhnya. Orang stres mengalami intensitas emosi yang tinggi (dan menyiksa): mudah tersinggung, berang, gelisah, jengkel, rasa tertekan dan sebagainya; pendeknya, kehilangan rasa aman. Selain itu, stres yang bersifat psikologis semacam ini selalu menlibatkan gejala-gejala jasmaniah: tekanan darah tinggi (hipertensi), denyut nadi dan detak jantung yang cepat, otot-otot yang menegang, telapak tangan yang berkeringat. Al-Quran menggambarkan situasi stres ini dengan kalimat, “Dijadikan-Nya dadanya sesak dan sempit, seperti orang naik ke langit” (QS. Al-An’am 125). Dalam ayat lain Allah menyebut orang stres itu sebagai orang mengalami masyatan dhaka, kehidupan yang sulit dan sempit (QS. Thaha 124). Orang stres adalah orang yang kehilangan ketentraman hati atau ‘sakinah’. Ini menunjukkan bahwa penyakit jiwa amat berpengaruh dalam menimbulkan gangguan fisik. Sebaliknya, penyakit fisik dapat menimbulkan gangguan jiwa. Bila hari ini Anda gelisah, risau, dan tanda-tanda stres lainnya, mengapa tidak Anda tinjau kembali daftar keinginan Anda. Kurangilah keinginan Anda (termasuk keinginan Anda untuk bicara tanpa jedah) jika Anda ingin hidup sehat. Demikian pula sebaliknya, bilamana hidup Anda ingin dipenuhi stres, tambalah terus keinginan Anda untuk terus bicara.
Dalam dunia sufi, terkenal hadis Nabi Saw: “Mûtu qabla antamûtu. Matilah kamu sebelum kamu mati”. Dalam kalimat itu disebut dua kali kata “mati” untuk menunjukkan dua kematian. Kematian pada kata tamûtu adalah kematian alami, kematian yang kita kenal, al-maut al-thabi’i. Kematian pada kata perintah mûtu adalah apa yang oleh Ibn ‘Arabi sebut sebagai kematian keinginan. Inilah kematian mistikal, kematian ego. Sebenarnya kita memiliki hati yang selalu mengajak kita berbicara. Salah satu pembicaraan hati adalah mengecam perilaku-perilaku kita yang kurang baik. Jadi, kita memiliki hati yang mengobati penyakit batiniah kita. Seperti disebutkan dalam Al-Quran: “Sungguh aku bersumpah demi hati yang selalu mengecam.” (QS. Al-Qiyamah: 2). Menurut Sayyid Haidar Amuli,hati kita bisa bicara hanya kalau kita berkenan membunuh keinginan kita untuk terus bicara, menahan mulut kita untuk tidak ngomong, itu berarti kita mengizinkan hati kita untuk bicara lebih banyak.
Kali ini saya ingin katakan kepada Anda, “Diagnosalah dirimu sebelum orang lain mendiagnosamu. Jadilah dokter bagi diri Anda sendiri, sebelum orang lain menjdi dokter bagimu”. Karena dokter lain hanya akan mendatangkan banyak mudharat ketimbang maslahat. Dengan pertolongannya, bisa jadi Anda sembuh dari sakit yang kamu derita. Kamu sehat kembali. Tapi kantong Anda yang makin menipis kemungkinan bisa menjadi penyebab sakit yang kamu derita selanjutnya.
Kebiasaan kita yang asal bicara tanpa henti telah melemahkan kemampuan kita untuk mendiagnosa penyakit yang kita derita. Jika anda tidak dapat mengendalikan diri anda untuk diam, maka alam akan memaksa anda diam untuk mendengarkan orang lain. Karena kasih sayangNya, sebetulnya Tuhan menginginkan anda sehat. Sakit yang kita derita sebenarnya adalah cara Tuhan untuk mendidik kita agar belajar diam. Jika anda masih tidak mau diam maka jiwamu tidak dapat diselamatkan (itu berarti bunuh diri).
Faedah kedua dari diet bicara adalah kemampuan untuk menundukkan sikap superioritas. Sikap yang menunjukkan Anda lebih tinggi atau lebih baik dari orang lain karena status, kekayaan, kekuasaan, kemampuan intelektual, atau kecantikan. Dalam masyarakat, konflik sering terjadi karena semua pihak merasa berhak untuk bicara. Sikap merasa lebih (lebih mulia, lebih pandai, lebih baik, dan lebih tinggi) telah menggiring kita untuk terus bicara dan pada saat yang sama pembicaraan kita menyumbat pendengaran kita. Tidak jarang, pembicaraan kita lebih banyak mengandung kekerasan ketimbang edukasi. Pembicaraan kita adalah pembicaraan yang provokatif dan tidak mencerahkan. Superioritas akan melahirkan sikap defensif. Karena itu, kita selalu saja membuat gaduh situasi. Kita lebih senang menyerang kelompok lain – dengan menyudutkan dan mencemoohkannya – hanya karena perbedaan metode dakwah (daripada perbedaan paham). Kemuliaan kelompok kita terletak pada penghinaan kita terhadap kelompok lain yang berbeda mazhab dengan kita. Seolah ingin kita berkata kepada seluruh mahluk,”saksikanlah manusia dan jin, betapa hinanya mereka”. Banyak orang kehilangan ketengan hidupnya karena banyaknya komentar yang terucap dan dimuat di media massa. Mereka resah, cemas, takut, dan bingung. Kita menjadi penyebab penderitaan banyak orang. Nabi Saw pernah bersabda, “Orang Islam adalah orang yang orang lain selamat dari gangguan lidah dan tanggannya”. Dalam definisi Nabi, kita tidak termasuk orang Islam lagi.
Dalam sebuah hadis Shahih Bukhari, Rasulullah saw bersabda, “Tidak dihitung mukmin, orang yang suka melaknat orang lain, suka menyakiti hati orang lain, atau berkata kotor.”
Hadis yang lain meriwayatkan Rasulullah saw berkata, “Tidak akan lurus iman seseorang sebelum lurus hatinya dan tidak akan lurus hati seseorang sebelum lurus lidahnya. Dan tidak pernah masuk surga seseorang yang tetangganya tidak aman dari gangguan lidahnya.” Orang yang lidahnya senang mengganggu tetangganya diharamkan masuk surga. Di zaman Nabi, suatu hari dilaporkan kepada Nabi perihal seorang perempuan yang kerjanya setiap hari berpuasa dan setiap malam salat tahajud, tetapi perempuan ini sering menyakiti hati tetangganya dengan lidahnya. Rasulullah saw mengatakan, “Dia berada di neraka.”
Laksana api, superioritas melahap apa saja yang ada dihadapannya. Ia hanya dapat dihentikan dengan siraman air yang menyejukkan. Air sejuk itu adalah kemampuan kita untuk mendengarkan dengan baik atau rendah hati (tawadhu). Karena, orang yang superioritas biasanya tidak mau mendegarkan. Mari dengarkan cerita Kang Jalal berikut ini.
Alkisah, serombongan Quraisy datang menemui Nabi Saw. Waktu itu beliau sedang berada di masjid. Salah seorang dari mereka yang pandai bicara memberanikan diri untuk bertanya perihal keberanian Nabi Saw menyebarkan agama baru. Agama yang belum pernah dibawah siapapun sebelum Nabi Saw. Kemudian ia menasehati dan meminta Nabi Saw agar menghentikan dakwahnya. Ia juga menjanjikan harta, kekuasaan, dan kemuliaan kepada Rasulullah sekiranya beliau menghentikan kegaiatan dakwahnya. Nabi saw mendengarkan dengan sabar. Tidak sekalipun beliau memotong pembicaraannya, ketika Utbah berhenti, Nabi bertanya, “Sudah selesaikah ya Abal Walid?” Sudah, kata Utbah. Nabi membalas ucapan Utbah dengan membaca surat Fushilat hingga usai.
Sementara itu Utbah duduk mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya. Ia kemabali kepada kaumnya. Utbah menyeru kaumnya untuk mengimani apa yang disampaikan Nabi Saw. Paling tidak mereka membiarkan Nabi Saw bicara. Orang-orang Quaraisy berang, mereka berteriak marah. Orang Quraisy ternyata tidak mau mendengarkan nasihat dari Utbah, seorang yang dihormati ditengah kaum Quraisy.
Peristiwa itu sudah lewat ratusan tahun yang lalu. Betapa akhlak Nabi Saw digambarkan penuh santun. Nabi Saw dengan sabar mendengarkan pendapat dan usul Utbah, seorang kafir Quraisy. Kita banyak mendengar tentang akhlak Nabi Saw yang mau menghormati pendapat orang lain. Yang mengherankan adalah akhlak kita yang menisbahkan diri sebagai pengikut Nabi Saw. Bahkan dengan Utbah, si kafir, kita kalah. Jangankan mendengarkan pendapat kaum kafir, seperti Nabi Saw. Kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim. Layaknya pembesar-pembesar Qurais kita lebih senang memilih To shoot it out! Membungkam dan memberantas sampai habis.
Manfaat ketiga dari diet bicara adalah menghapus riya dalam pembicaraan. Riya dalam pembicaraan adalah upaya merekayasa pembicaraan kita dengan tujuan menimbulkan kesan bahwa kita orang saleh. Sudah terlalu sering kita mengutip ayat-ayat kitab suci dalam pembicaraan kita (walau tidak relevan dengan apa yang kita bicarakan) hanya untuk membentuk kesan bahwa kita adalah orang saleh, orang alim, atau orang yang dekat dengan Tuhan. Menurut Imam Al-Ghazali, termasuk kejahatan lidah (riya) bila kita ingin menunjukkan kefasihan pembicaraan kita kemudian kita hias pembicaraan kita dengan hal-hal yang tidak perlu, agar orang lebih tertarik pada omongan kita dan memandang kita sebagai orang saleh. Untuk menghapus riya dalam pembicaraan kita, kita harus belajar diam atau paling tidak mengurangi bicara kita. Diet bicara dapat memotong kesengan kita berbicara.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang diam, dia pasti selamat.” Sementara pada waktu lain, Rasulullah saw berkata, “Diam itu kearifan tetapi sangat sedikit orang yang melakukannya.”
Bagaimana kalau kita mengatur penampakkan kita bukan untuk dinilai sebagai orang saleh melainkan sebagai orang pandai? Bagi sebagian orang hal itu dibolehkan asal dalam melakukannya tidak berlebih-lebihan. Riya hanya berlaku dalam ibadat. Mengatur pembicaraan agar tampak fasih, dalam sebuah wawancara kerja, supaya diterima, tentu saja tidak merupakan dosa. Itu hanya tidak jujur. Meski demikian, kita harus belajar jujur dalam mengungkapkan siapa diri kita kepada orang lain. Sebisa mungkin, kita harus menghindari terlalu banyak melakukan ‘penopengan’. Seperti kata Rumi dalam syairnya:
Para ilmuwan masa kini telah menghempaskan semua
pengorbanan diri dan kerendahan hati
Mereka sembunyikan hati dan kecerdikan
dalam permainan bahasa
Raja sejati adalah dia yang mengusai pikirannya
Bukan dia yang pikirannya menguasai dunia dan dirinya
Menurut Jalaluddin Rakhmat, “Kita tidak menaruh kepercayaan kepada orang yang tidak jujur atau sering menyembunyikan pikiran dan pendapatnya. Kita menaruh kepercayaan kepada orang yang terbuka, atau tidak mempunyai pretensi untuk dibuat-buat. Kita akan mencurigai orang yang melakukan impression management atau katakanlah terlalu ‘halus’ sehingga terlalu amat sering menyembunyikan isi hatinya atau membungkus pendapat dengan lambang-lambang verbal dan nonverbal”. Orang yang suka bohong membuat kita sukar menebak perilakunya. Ia sepenuhnya berada dalam kontrol ‘tirany of the should’. Sebaliknya, kejujuran menyebabkan orang menjadi merdeka tanpa kendali orang lain atau sesuatu yang berasal dari luar dirinya” sehingga perilakunya dapat diduga (predictable). Ia adalah orang yang berhasil melepaskan diri dari “tirani yang seharusnya”.
Manfaat lain dari mengurangi bicara adalah memperoleh anugrah lebih dari Allah Azza wa Jalla berupa kefasihan berbicara dan terbukanya pintu kegaiban. Tentu Anda masih ingat tentang Maryam yang dikisahkan dalam Al-Quran. Karena Maryam diet bicara, Tuhan menjadikan bayi dalam buaiannya berbicara sangat jelas. Ketika Maryam kembali dari mihrabnya dengan menggendong anaknya, bayi itulah yang menjawab hujatan banyak orang. Menurut Haydar Amuli, bila kita diam sejenak, Tuhan akan memperdengarkan kepada kita dengan sangat jernih suara hati nurani kita. Lewat hati yang merupakan kediaman Tuhan dalam diri kita, Tuhan menyampaikan petunjuk-Nya. Karena terlalu banyak bicara, kita tidak lagai sanggup mendengar suara Tuhan dalam hati nurani kita. Kita menjadi Tuli karena kita terlalu bising. Isyarat-isyarat gaib yang Tuhan berikan melalui hati kita terhalang oleh riuhnya pembicaraan kita.
Nabi Zakariya as amat bahagia ketika disampaikan kepadanya ihwal ia akan diakaruniai seorang putra. Zakaria as hampir tidak percaya, “Bagaimana mungkin aku punya anak, ya Allah. Padahal istriku mandul dan aku pun sudah tua renta.” (QS. Maryam: Lalu Tuhan menjawab, “Hal itu mudah bagi Allah. Bukankah kamu pun asalnya tiada lalu Aku ciptakan kamu.” (QS. Maryam: 9) Zakaria masih penasaran dan ia minta kepada Allah, “Apa tandanya, ya Allah?” Tuhan menjawab, “Tandanya ialah kau harus puasa bicara. Kau tidak boleh berkata kepada seorang manusia pun selama tiga hari berturut-turut.” (QS. Maryam: 10)
Zakaria as diperintahkan Tuhan untuk mensyukuri nikmat yang diterimanya dengan diet bicara. Ajaibnya, karena keseringan bicara, kita sekarang ini boro-boro diet bicara kita bahkan hampir tidak tahu bagaimana mensyukuri karuni Tuhan kepada kita.
(sumber : Buletin Mitsal)
Langganan:
Postingan (Atom)
Mengenai Saya
- Ryu Hidayat
- aku balita imut, wajahku "mlayanan" gantengnya dapet engga'nya kebanyakan.. :P ASI adalah makanan favoritku, kalo ga dapet, capek dehhhhh..
Pengikut